Makalah
PERUBAHAN
BUNYI DARI BAHASA JAWA KAWI
KE BAHASA JAWA
BARU
PERUBAHAN
BUNYI PADA BAHASA JAWA KAWI
KE BAHASA JAWA
BARU (NGOKO DAN KROMO)
A.
Pendahuluan
Dari satu waktu ke waktu bahasa
berkembang dan tumbuh seiring dengan perkembangan manusia.Keraf (1984:23)
memberikan definisi ‘bahasa adalah suatu alat pada manusia untuk menyatakan
tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara
individual atau secara bersama-sama’.Dari definisi ini dapat kita katakan bahwa
bahasa digunakan oleh manusia untuk menanggapi peristiwa-peristiwa yang dapat
berupa suatu perkembangan dalam suatu masyarakat.Karena manusia memiliki
kecenderungan untuk berkembang demikian pula masyarakat yang sebagai akibatnya,
bahasa yang digunakan sebagai alat untuk menanggapi setiap peristiwa oleh
manusia pun ikut berkembang.Crowley (1992:31) menyatakan bahwa perubahan bahasa
merupakan suatu hal yang alami dan merupakan aspek lain dari tindak tanduk
manusia di kehidupan sosial. Perubahan-perubahan yang terjadi pada bahasa ada
yang dapat dilihat dan masih meninggalkan bukti tetapi ada juga yang tidak
menyisakan bukti sama sekali.
Linguistik historis adalah suatu
kajian yang mengkaji perubahan bahasa. Kajian ini, secara sekaligus memberikan
suatu pemahaman mengenai bagaimana bahasa berubah, bagaimana proses bahasa,
bagaimana bagian-bagian pada bahasa dapat saling melengkapi dan pas satu sama
lain, dan secara umum apa yang membuat bahasa menjadi satu kesatuan (Campbell, 1998:1).
Dengan menggunakan linguistic historis akan dapat digambarkan bagaimana suatu
proses perkembangan bahasa itu terjadi.
Salah satu bahasa yang tentu saja
tidak luput dari adanya perubahan bahasa adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa
merupakan bahasa dari rumpun Austronesia dengan penutur yang paling banyak jika
dibandingkan dengan bahasa lain di rumpun ini. Dalam kelompok Austronesia,
bahasa Jawa termasuk bahasa yang memiliki banyak perubahan.Hal ini tercermin
dari adanya perubahan dari bahasa sansekerta ke bahasa Jawa kuno atau kawi
kemudian ke bahasa Jawa baru. Perubahan dalam bahasa Jawa tidak berhenti sampai
di situ saja, dengan jumlah penutur terbanyak di rumpun Austronesia, bahasa
Jawa memiliki jumlah dialek yang sangat banyak serta memiliki ragam bahasa yang
tidak sedikit pula. Bahasa Jawa memiliki beberapa ragam bahasa dan yang paling
menonjol adalah bahasa Jawa ragam ngoko dan kromo.Di masyarakat kedua raga mini
pun masih dibagi lagi sesuai dengan kondisi masyarakat yang menggunakan bahasa
ini.
Perubahan bahasa pada bahasa Jawa
kuno atau kawi ke bahasa Jawa saat ini masih banyak meninggalkan jejak dan
dapat dilihat pada bagian apa yang telah berubah. Salah satu aspek bahasa yang
sering mengalami perubahan adalah bunyi.Bunyi merupakan realisasi fonetis dari
penggunaan bahasa.dalam perubahan bahasa, bunyi sering kali mengalami
perubahan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai mengapa bahasa
berubah, sebagai akibat dari perubahan bahasa bunyi pun turut mengalami
perubahan.Contoh yang dapat kita ambil dari bahasa Jawa ada pada kata hawu ‘abu’ [hawu] > [awu], dari kata
ini terjadi perubahan di mana bunyi h hilang
dari kata awal dan menjadi bentuk baru yang dipakai saat ini.
Dalam makalah ini, penulis berusaha
untuk membuat suatu hipotesa kasar mengenai proses perubahan bahasa yang
terjadi di bahasa Jawa kawi ke bahasa Jawa baru ragam ngoko dan kromo. Hipotesa
didasarkan pada jenis-jenis perubahan bunyi di dalam buku Historical Linguistics karya Lyle Campbell dan An Introduction to Historical Linguistics karya Terry Crowley.Di
sini penulis memilih bahasa Jawa baru ragam ngoko dan kromo dikarenakan
kata-kata bahasa Jawa kawi tidak hanya terefleksi di salah satu ragam saja,
tetapi di kedua ragam tersebut.Sehingga dirasa perlu untuk meneliti kedua ragam
ini.
Data dalam makalah ini merupakan
daftar kosa kata dasar swadesh. Daftar kosa kata dasar swadesh merupakan daftar
kata dasar yang dikembangkan oleh Morris Swadesh yang terdiri dari 200 kata
yang dianggap bersifat universal sehingga ada asumsi bahwa kata-kata ini ada
kecenderungan dimiliki oleh setiap bahasa (Keraf, 1984:139). Dalam mengumpulkan
data, penulis mendaftar kosa kata dasar swadesh dalam bahasa Indonesia kemudian
mencari kosa kata yang bersangkutan dalam bahasa Jawa kawi dan bahasa Jawa baru
dalam ragam ngoko dan kromo. Selain dari daftar kosa kata dasar swadesh data
juga diambil dari kosa kata-kosa kata yang dianggap penting di mana kosa
kata-kosa kata yang diambil merepresentasikan perubahan bunyi yang cukup
signifikan bagi bahasa Jawa.Setelah data terkumpul, data dianalisa untuk
dilihat perubahan bunyi yang terjadi pada kata yang mengalami perubahan.
B.
Linguistik
Historis
Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, linguistik historis mengkaji perubahan bahasa. yang oleh karena
itu, linguistik historis seering juga disebut sebagai linguistik diakronis atau
diachronic linguistiks (berasal dari
bahasa latin dia- ‘melalui’, chromos ‘waktu’ dan –ic ‘ilmu’), karena ilmu ini mengkaji perubahan pada bahasa atau
bahasa dari waktu ke waktu (Campbell, 1998:4). Ini berbeda dengan linguistik
sinkronis atau synchronic linguistiks
yang mengkaji bahasa dari aspek bahasa di satu waktu, seperti jika pada
penelitian mengenai tata bahasa bahasa Inggris saat ini di suatu komunitas
tertentu.Tetapi linguistic diakronis dan sinkronis saling berhubungan, di mana
metode penelitian pada linguistic sinkronis dapat digunakan untuk melaksanakan
penelitian diakronis, seperti pada penelitian perubahan bunyi dimana bunyi
bahasa dikaji berdasarkan kajian fonetis dan fonologisnya.
Linguistik historis juga disebut
sebagai linguistik komparatif atau comparative
linguistics karena ilmu ini mempelajari perubahan bahasa yang timbul dalam
membandingkan bahasa yang terkait. Bahasa saling berhubungan satu sama lain
jika diturunkan dari satu bahasa awal, misalnya bahasa-bahasa romawi modern
(Italian, prancis, spanyol, dan lainnya) diturunkan dari bahasa Latin. Pada
mulanya, area utama linguistik historis adalah ‘bagaimana’ bahasa berubah dan
percaya bahwa pertanyaan ‘mengapa’ bahasa berubah adalah suatu hal yang sangat
jauh untuk diungkap. Tetapi pada sekitar tahun 1960, telah terjadi suatu
perkembangan yang signifikan dimana linguistik historis dapat menjawab
pertanyaan ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ bahasa berubah.
C.
Perubahan
Bunyi
Dapat dikatakan hampir seluruh area
yang dipelajari di linguistik historis adalah perubahan bunyi.Berkali-kali,
bunyi suatu bahasa cenderung untuk berubah.Perubahan bunyi adalah suatu proses
dimana bunyi suatu bahasa berubah dari bunyi awal menjadi bunyi lain.
Bunyi-bunyi yang berubah secara bertahap bergeser menuju bunyi lain dengan ada
yang masih meninggalkan jejak berupa fitur-fitur bunyi atau sudah berudah sama
sekali menjadi bunyi lain.
Campbell membagi perubahan bunyi
biasanya dibedakan berdasarkan pada teratur (regualar) atau sporadis (sporadic)
suatu perubahan terjadi (1998:17). Perubahan sporadis berdampak hanya pada
beberapa kata dan tidak diterapkan pada seluruh bagian suatu bahasa secara
umum, yaitu perubahan bahasa yang disadari sebagai perubahan yang sporadis
adalah jika perubahan yang terjadi tidak dapat diprediksi pada kata apa
perubahan ini berpengaruh. Contohnya seperti pada kata spræc dari bahasa Inggris kuno menjadi speech di bahasa Inggris baru dimana hilangnya bunyi r adalah suatu hal yang tidak biasa pada
konteks ini seperti pada kasus spring,
sprig, dan spree yang tetap memiliki bunyi r.
Perubahan yang teratur (regular) secara umum muncul
berulang-ulang kali dan terjadi dimanapun lingkungan fonetis dimana perubahan
itu terjadi.Perubahan bunyi yang teratur mendapatkan lebih banyak perhatian
pada linguistik historis karena perubahan ini sangat penting terhadap metode
dan teori mengenai perubahan bahasa.Faktanya, asumsi dasar yang paling penting
dalam linguistik historis adalah perubahan bunyi teratur, sebuah prinsip dasar
dengan implikasi yang luas untuk penerapan suatu metode linguistik
historis.Untuk mengatakan bahwa suatu perubahan bunyi adalah perubahan bunyi
yang teratur adalah jika perubahan terjadi kapanpun bunyi atau bunyi-bunyi yang
mendasari perubahan ditemukan di keadaan atau lingkungan yang mengkondisikan
perubahan. Misal, p awal menjadi b diantara dua vokal di bahasa Spanyol
(p > b /V_V), maksudnya adalah setiap bunyi p awal yang jika berada di antara dua vokal akan berubah menjadi b. Jika sebuah bunyi dapat berubah pada
kondisi yang berubah-ubah dan cara yang tidak terprediksi, maka perubahan ini
bukan perubahan yang teratur; tetapi perubahan bunyi adalah suatu hal yang
teratur.
Ini disebut dengan the regularity principle atau the neogrammarian hypothesis yang
artinya prinsip keteraturan (Campbell, 1998:17-18).Prinsip ini mulai pada
sekitar tahun 1876 di Jerman, yang kemudian menjadi sangat berpengaruh dalam
pemikiran umum mengenai perubahan bahasa, dan mengenai perubahan bunyi secara
khusus.Neogrammarians adalah sebuah
grup sarjana muda yang menentang pemikiran para pendahulunya. Slogan mereka
adalah sound laws suffer no exception yang
artinya hukum bunyi berlaku tanpa pengecualian. Istilah keteraturan hukum bunyi
menjadi dasar metode komparatif.Hukum bunyi yang dimaksud adalah perbahan
bunyi, tetapi mereka mengacukannya pada hukum karena mereka menghubungkan ilmu
bahasa dengan ilmu pasti yang memiliki hukum atau kaidah atau semacam
pernyataan hukum.
Perubahan bunyi juga diklasifikasi
berdasarkan apakah perubahan itu mutlak (unconditioned)
atau bersyarat (conditioned)
(Campbell, 1998:18). Saat suatu perubahan bunyi secara umum muncul dan tidak
bergantung pada konteks fonetik dimana perubahan itu muncul, tidak bergantung
atau terbatasi apapun oleh bunyi didekatnya, perubahan ini termasuk dalam
perubahan mutlak. Perubahan bunyi mutlak memodifikasi bunyi pada seluruh
konteks dimana perubahan terjadi, tanpa memperhatikan bunyi lain yang ditemukan
pada kata yang mengandung bunyi yang berubah, atau dengan kata lain perubahan
terjadi tanpa tergantung dengan kontek fonologikal dimana bunyi yang berubah
ditemukan. Di lain pihak, saat perubahan terjadi hanya pada konteks tertentu,
saat bergantung pada bunyi disekitarnya, berada pada posisi tertentu dalam
suatu kata, atau aspek lain dari tata bahasa; perubahan ini disebut dengan
perubahan bersyarat. Perubahan bersyarat lebih terbatas dan hanya berdampak
pada bebeapa bunyi yang muncul pada konteks tertentu, tetapi tidak pada
kemunculan lain di luar lingkungan di mana perubahan terjadi. Contohnya,
seperti pada contoh yang telah disebutkan di bahasa Spanyol, bunyi p hanya berubah menjadi b jika diantara vokal dan selain itu tidak berubah.
Jarak antara perubahan fonemis dan
non-fonemis hadir pada hampir seluruh perlakuan perubahan bunyi (Campbell,
1998: 18). Hal ini harus disadari sebagai perbedaan level analisa fonologikal
di teori linguistik, yaitu level fonetik dan level fonemis. Terkadang terdapat
ketidak sepahaman mengenai bagaimana level fonemis untuk dipahami, mengenai
keabstrakan fonem (sejauh apakah perbedaan antara fonem dan bunyi) dan
bagaimana mereka dihadirkan. Secara alami, jika terdapat persetujan penuh pada
teori fonologi mengenai level fonemis, akan ada
suatu konsensus di linguistik historis dalam hal pembicaraan mengenai
aspek perubahan bunyi yang berhubungan dengan fonem. Bagaimanapun juga, untuk
tujuan ini, suatu karakteristik yang pasti tidaklah penting, selama dapat
dipahami bahwa pembicaraan mengenai perubahan bunyi membuat referensi pada dua
level tersebut. Secara umum, hal ini membantu untuk meneliti fonetik
menggambarkan pengetahuan penutur atau organisasi mental bunyi pada
bahasa.perubahan non-fonemis (atau perubahan allofonemis) tidak merubah secara
mutlak pada fonem di suatu bahasa. ada yang menyebut perubahan ini sebagai
pergeseran (shifts), mengacu pada
pergeseran pengucapan (pada level fonetik), dengan tidak merubah fonem pembeda.
Suatu perubahan fonemis didefinisikan sebagai perubahan yang mempengaruhi fonem
dengan menambah atau menghilangkan bunyi atau fonem dasar suatu bahasa.berikut
ini adalah jenis-jenis perubahan bunyi yang dirangkum dari buku Historical Linguistics karya Lyle
Campbell (1998:17-43) serta dari buku An
Introduction to Historical Linguistics karya Terry Crowley (1992:38-59).
Secara garis besar jenis-jenis perubahan yang ada antara dua buku ini sama,
hanya berbeda pada pengurutannya saja. Sehingga untuk mempermudah diambil salah
satu urutan dan penulis mengambil urutan dari Campbell.
1. Perubahan
Non-Fonemis atau Allofon
Perubahan non-fonemis disadari
sebagai perubahan yang tidak terlalu penting, mungkin dikarenakan oleh karena
perubahan ini tidak merubah urutan struktur bunyi.
a. Perubahan
non-fonemis mutlak
Contohnya seperti pada bahasa
Inggris, u > ʉ (vokal bulat tengah), yang pada dialek lain bahkan menjadu y, seperti pada kata shoe [ʃu] > [ʃʉ], dan bahkan menjadi
[ʃy]. Perubahan ini terjadi tanpa ada lingkungan atau konteks tertentu yang
harus disertakan.Perubahan ini juga tidak merubah bentuk ciri pembeda pada
fonem dasar, sehinggal ini adalah perubahan non-fonemis dan mutlak.
b. Perubahan
non-fonemis bersyarat
Banyak dialek bahasa Inggris telah
mengalami perubahan di mana vokal secara fonetis dipanjangkan sebelum konsonan
hambat bersuara, seperti pada /bɛd/ > [bɛ:d] bed.
2. Perubahan
Fonemis
Terdapat dua prinsip dasar
perubahan ini, yaitu merjer dan split.
a. Merjer
(A, B > B, atau A, B > C)
Merjer adalah suatu perubahan di
mana dua fonem atau lebih yang berbeda bergabung menjadi satu, meninggalkan
sedikit ciri pembeda pada inventaris fonologikal dibandingkan dengan
sebelumnya.
b. Split
(A > B, C)
Untuk memahami split, diperlukan
untuk memahami aksioma yang lain, yaitu split mengikuti merjer. Perubahan ini,
bunyi yang berubah tidak berubah dengan sendirinya pada konteks apapun, tetapi
secara fonetik bunyi tetap sama, berbeda dengan merjer ke bunyi lain di
lingkungannya yang menyebabkan status fonemis bunyi yang terlibat dengan split
berubah dari yang bisa diprediksi memiliki variasi bunyi (allofon) menjadi
tidak dapat diprediksi, kontrastif, bunyi distingtif.
c. Perubahan
fonemis mutlak
Perubahan bunyi di mana perubahan
terjadi secara mutlak tanpa bersyarat.
d. Perubahan
fonemis bersyarat
Ini adalah perubahan bunyi yang
mengacu pada perubahan bunyi yang hanya terjadi pada konteks tertentu, keadaan
tertentu atau lingkungan tertentu.
3. Jenis
Umum Perubahan Bunyi
a. Assimilasi
Assimilasi adalah bahwa suatu bunyi
menjadi lebih sama atau mirip dengan bunyi lain, sebuah perubahan pada suatu
bunyi yang diakibatkan oleh pengaruh lingkungan bunyi, yang biasanya
berdekatan. Perubahan assimilatori sangat umum, mungkin yang paling sering dan
kategori paling penting pada perubahan bunyi.Perubahan assimilatori dibedakan
berdasarkan tiga pembagian dikotomi, yaitu total-sebagian,
berdekatan-berjauhan, dan regresif-progresif. Perubahan total adalah perubahan
yang merubah seluruh ciri bunyi menjadi bunyi lain yang mengassimilasi.
Perubahan yang sebagian adalah jika bunyi yang terassimilasi mendapatkan
sebagian atau beberapa ciri bunyi lain, tetapi tidak menjadi benar-benar sama
dengan bunyi yang mengassimilasi. Perubahan regersif (antisipatori) adalah
perubahan di mana bunyi yang berubah muncul lebih dulu di kata (lebih dekat
dengan awal kata, lebih ke kiri) dari pada bunyi yang menyebabkan
assimilasi.Sedangkan perubahan progresif mempengaruhi bunyi yang muncul
belakangan (lebih dekat dengan akhir kata, lebih ke kanan) dari pada lingkungan
yang merubah.
Ketiga parameter diatas
berinteraksi dangan satu sama lain dan menghasilkan kombinasi-kombinasi
perubahan assimilasi.
(1) Assimilasi
regresif berdekatan total
(2) Assimilasi
progresif berdekatan total
(3) Assimilasi
regresif berdekatan sebagian
(4) Assimilasi
progresif berdekatan sebagian
(5) Assimilasi
jauh (tidak berdekatan)
Assimilasi yang terjadi secara berjauhan (tidak
berdekatan) sangat berbeda dengan assimilasi yang berdekatan, walaupun beberapa
perubahan yang terjadi dengan vokal atau konsonan di suku kata yang berikutnya
cukup umum.Jenis perubahan ini dapat terjadi secara sebagian atau keseluruhan,
dan regresif atau progresif.
b. Dissimilasi
Dissimilasi, lawan dari assimilasi,
adalah perubahan di mana bunyi menjadi semakin tidak mirip dengan bunyi yang
mempengaruhi.Assimilasi jauh lebih umum terjadi dibandingkan dengan
dissimilasi.Dissimilasi jauh lebih jaranf dan biasanya sporadis, walaupun
terkadang juga dapat terjadi dengan teratur.Dissimilasi sering kali terjadi
secara berjauhan, tetapi dissimilasi yang berdekatan juga tidak jarang.
4. Jenis
Perubahan Bunyi Umum
a. Delesi
(Penghapusan)
Delesi adalah perubahan yang
mengacu pada dihapusnya atau hilangnya suatu bunyi pada kata.
(1) Sinkop
(atata > atta)
Hilangnya (delesi) vokal di dalam kata (bukan di
awal atau akhir) disebut sebagai sinkop; seperti menghapus vokal disebut
‘syncopated’ (sinkopasi). Sinkop adalah istilah yang sering digunakan.Selain
vokal, penghapusan konsonan juga terjadi pada perubahan ini.
(2) Apokop
( tata > tat)
Apokop mengacu pada hilangnya bunyi, biasanya vokal,
di akhir kata.
(3) Afaeresis
(atata > tata)
Afaeresis mengacu pada perubahan yang menghilangkan
bunyi awal (biasanya vokal) pada kata.
b. Epenthesis
atau penyisipan (asta > asata)
Berlawanan dengan delesi,
epenthesis adalah perubahan yang memasukkan atau menyisipkan bunyi pada kata.
(1) Prosthesis
(tata > atata)
Prosthesis adalah jenis epenthesis di mana bunyi
disisipkan di awal kata.
(2) Anaptiksis
(atsa > atasa)
Anaptiksis adalah perubahan berupa penyisipan ekstra
vokal diantara dua konsonan (yang juga disebut dengan vokal parasitic atau
svarabhakti vokal).
(3) Ekskressens
(amra > ambra; anra > andra; ansa > antsa)
Perubahan ini mengacu pada penyisipan konsonan
diantara dua konsonan atau klaster.
(4) Paragoge
(tat > tata)
Perubahan jenis ini berupa penambahan bunyi
(biasanya vokal) di akhir kata.
c. Kompensasi
pemanjangan (tast > ta:t)
Perubahan bunyi jenis ini bunyi
yang hilang digantikan dengan pemanjangan vokal.
d.
Rotasism (VsV > VrV)
Rotasisim mengacu pada perubahan
bunyi di mana bunyi s (atau z) berubah menjadi r, biasanya berada di antara dua vokal atau semi vokal.
e.
Metathesis (asta >
atsa; asata > atasa)
Methatesis adalah perpindahan
bunyi, ini adalah perubahan di mana bunyi berpindah posisi.
f.
Haplologi (tatasa >
tasa)
Pada jenis ini terjadi perubahan di
mana urutan bunyi berulang disederhanakan menjadi tunggal.
g.
Pemecahan
Pemecahan mengacu pada diftongisasi
vokal pendek pada konteks tertentu.
5. Perubahan
bunyi lain
a.
Tidak menyuarakan bunyi
akhir
Ini adalah perubahan yang
menyangkut tidak menyuarakan bunyi stop pada posisi akhir kata, beberapa bahasa
tidak menyuarakan bunyi sonoran (l, r,
w,j, nasal) dan beberapa tidak menyuarakan vokal di kahir kata.
b.
Menyuarakan antar vokal
(dan menyarakan secara umum)
Pada beberapa bahasa, hanya bunyi
hambat yang berubah, ada yang frikatif, dan yang lainnya semua
bunyi.Seringkali, bunyi semi vokal juga mengalami perubahan ini.banyak bahasa
juga menyuarakan bunyi hambat setelah bunyi nasal atau selelah bunyi bersuara
apapun; beberapa yang lain juga menyuarakan bunyi-bunyi yang lain jika sebelum
bunyi bersuara.
c.
Assimilasi nasal
Terjadi sangat umum untuk nasal
berubah menyesuaikan dengan poin artikulasi bunyi hambat yang berikutnya
(beberapa bahasa dengan konsonan apapun berikutnya): np >mp, mt>nt, nk >ŋkdan lain sebagainya.
d.
Palatalisasi
Perubahan ini sering terjadi
sebelum atau sesudah bunyi i dan j atau sebelum bunyi vokal depan
lainnya, bergantung pada bahasanya. Perubahan ini dapat terjadi secara teratur
seperti pada perubahan dari bunyi velar atau alveolar ke bunyi palate alveolar,
seperti k >č, t >č, s>ʃ, dan lain sebagainya.
e.
Diftongisasi
Diftongisasi mengacu pada setiap
perubahan di mana bunyi vokal tunggal awal berubah menjadi urutan segmen dua
vokal yang secara bersama-sama menempati posisi nucleus pada satu silabel.
f.
Monoftongisasi
Monoftongisasi adalah perubahan di
mana diftong awal berubahn menjadi vokal tunggal.
g.
Vokal naik
Perubahan di mana vokal rendah
berubah menjadi vokal tengah atau tinggi, atau vokal tengah ke tinggi, umum
terjadi.Terutama, vokal panjang atau bertekanan sering naik.Terkadang perubahan
ini dapat melibatkan hampir seluruh perubahan di sistem vokal, yang di kenal
sebagai pergeseran vokal, seperti pada pergeseran vokal di bahasa Inggris.
h.
Vokal turun
Kebalikan dari vokal naik, di
perubahan ini vokal tinggi menjadi vokal tengah atau rendah, atau vokal tengah
menjadi vokal rendah.
i.
Nasalisasi
Terjadi perubahan vokal menjadi
ternasalisasi di lingkungan konsonan nasal.
j.
Lenisi (pelemahan)
Ini adalah perubahan yang
menghasilkan bunyi yang menjadi lebih lemah pada artikulasi dibandingkan dengan
bunyi sebelumnya.Perubahan terjadi pada bunyi hambat atau afrikat atau
frikatif, dua konsonan menjadi satu, konsonan menjadi semi konsonan, terkadang
bunyi tidak bersuara menjadi bunyi bersuara di lingkungan tertentu, dan lain
sebagainya.Lenisi juga dapat berupa hilangnya seluruh bunyi.
k.
Penguatan
Perubahan ini mengakibatkan
terjadinya bunyi menjadi lebih kuat pada artikulasi dibandingkan dengan bunyi
awal.
l.
Geminasi
Ini merupakan perubahan berupa
penggandaan konsonan, yaitu perubahan yang memproduksi konsonan yang identic.
m. Degeminasi
Saat dua konsonan identic berkurang
menjadi konsonan tunggal merupakan perubahan degeminasi.
n.
Afrikasi
Perubahan ini mengacu pada bunyi
yang biasanya hambat, terkadang frikatif, berubah menjadi afrikatif.Misal, t >ts /__i, dan k>č
/__i, e.
o.
Frikatifisasi
(spirantisasi)
Tidak terjadi secara umum, bunyi
afrikat menjadi lebih lemah yaitu mejadi bunyi frikatif atau hambat menjadi
frikatif.
p.
Deafrikasi
Saat bunyi affrikatif menjadi bunyi
frikatif, ini adalah perubahan deafrikasi.
q.
Pemanjangan
Pemanjangan mengacu pada perubahan
bunyi, biasanya vokal, menjadi lebih panjang pada beberapa konteks.
r.
Pemendekan
Bunyi, terutama vokal, sering
mengalami perubahan yang menjadikan bunyi menjadi lebih pendek, seperti pada akhir
kata, sebelum konsonan klaster, saat tidak terkenan tekanan, dan lain
sebagainya.Vokal panjang juga sering menyatu menjadi vokal pendek secara umum
di suatu bahasa.
D.
Perubahan
Bunyi dari Bahasa Jawa Kawi ke Bahasa Jawa Baru (Ngoko dan Kromo)
Sebagai bahasa yang telah mengalami
sejarah yang cukup panjang, bahasa Jawa mengalami perubahan bahasa yang cukup
signifikan.Hal ini ditandai dengan adanya banyak perubahan-perubahan bunyi yang
terjadi di bahasa Jawa. Salah satu proses perubahan yang terjadi di bahasa Jawa
terjadi pada bahasa Jawa kawi ke bahasa Jawa baru dalam ragam ngoko dan kromo.Berikut
ini penjelasan hipotesis kasar jenis-jenis perubahan bunyi dari bahasa Jawa
kawi ke bahasa Jawa baru ragam ngoko dan kromo beserta contohnya. Untuk
mempermudah penjelasan, berikutnya bahasa Jawa kawi akan disingkat menjadi BJK
dan bahasa Jawa baru ngoko menjadi BJBn serta untuk ragam kromo menjadi BJBk
1. Perubahan
Fonemis
a. Merjer
Merjer yang terjadi di bahasa Jawa
terlihat pada fonem konsonan-konsonan aspirat. Pada bahasa Jawa kawi terdapat
deretan konsonan aspirat dan tidak aspirat, seperti /gh, g/, /bh, b/, dan
/ph,p/. Pada bahasa Jawa baru konsonan-konsonan ini mengalami merjer menjadi gh, g
>g; bh, b >b; dan ph, p>p. Seperti pada kata [megha] > [mega]
‘awan’, [bhabhaq] > [babaq] ‘memar’, dan [phaphaq] > [papaq] ‘rata’.
b. Split
Terdapat aksioma di mana split
mengikuti merjer. Ketika merjer ada belum tentu ada split, tetapi split pasti
ada karena merjer. Dalam bahasa Jawa kawi fonem /k/ memiliki dua allofon yaitu
[q] pada posisi koda dengan konsonan aspirat di posisi onset dan [k] untuk
selain itu. Karena ada merjer pada fonem /bh/ dan /b/ serta /ph/ dan /p/,
alofon ini mengalami split dan menjadi fonem.
Fonemik:
|
/bhaktha/
‘makanan’
|
/baktha/
‘buah tangan’
|
Fonetik:
|
[bhaqtha]
|
[baktha]
|
|
|
|
Karena adanya merjer bh, b, >b, kedua bentuk fonetik bertahan yang
kemudian alofon [q] dan [k] mengalami split dan menjadi fonem karena menjadi
kontras dalam pasangan minimal. Contoh pasangan minimal yang lainnya untuk /k/
dan /q/ pada bahasa Jawa baru seperti /babak/ dan /babaq/ yang memiliki arti
‘seri’ dan ‘memar’.
2. Jenis
Umum Perubahan Bunyi
a. Assimilasi
Beberapa contoh perubahan
assimilasi pada bahasa Jawa dapat dilihat seperti pada proses perubahan kata
dari BJKgading ‘kuning’ yang berubah
menjadi kuning ‘kuning’ di BJBn. Pada
proses perubahan bunyi kata ini, pertama terjadi pelemahan yaitu pada fonem /g/
bersuara menjadi /k/ tidak bersuara: [gadiŋ] > [kadiŋ]. Kemudian diikuti
dengan assimilasi regresif sebagian jauh pada fonem /d/ yang dipengaruhi oleh
/ŋ/, sehingga /d/ mengambil sebagian ciri dari /ŋ/ dan menjadi fonem /n/:
[kadiŋ] > [kaniŋ]. Terakhir terjadi perubahan vokal /a/ menjadi lebih
tinggi, /u/: [kaniŋ] > [kuniŋ].
b. Dissimilasi
Contoh untuk perubahan dissimilasi
terlihat pada proses perubahan kata BJK wwad
menjadi oyod ‘akar’ di BJBn. Proses
yang pertama terjadi dissimilasi pada fonem /w/ menjadi /y/: [wwad] > [wyad].
Kemudian diikuti dengan perubahan semi vokal /w/ menjadi vokal /ɔ/: [wyad] >
[ɔyɔd].
3. Jenis
Perubahan Bunyi Umum
a.
Delesi
Delesi adalah perubahan yang
mengacu pada dihapusnya atau hilangnya suatu bunyi pada kata.Terdapat beberapa
jenis pada perubahan ini yang dapat dilihat di bahasa Jawa. Contohnya adalah:
(1) Sinkop
BJK [karwɔ] > [karɔ] ‘dengan’ dimana /w/ hilang
pada BJBn.
(2) Apokop
BJK [rəŋəh] > BJBn [riŋi] ‘dengar’: /h/ di posisi
akhir kata hilang.
(3) Afaeresis
Fonem /a/ hilang pada BJK [abalaŋ] > BJBn
[balaŋ].
b.
Epenthesis atau
penyisipan
(1) Prosthesis
BJK BJBn arti
[wɔŋ] [uwɔŋ] ‘orang’
[andɛk] [cəndhɛk] ‘pendek’
Di contoh pertama terdapat penambahan bunyi /u/ pada
awal kata, sehingga ini termasuk dalam perubahan epenthesis prosthesis.Demikian
pula dengan contoh yang kedua, terapat penambahan bunyi /c/ dan merubah kata
menjadi [cəndhɛk].
(2) Anaptiksis
BJK BJBn arti
[wrUh] [wərUh] ‘tahu’
[jro] [jəro] ‘dalam’
Pada perubahan ini, perubahan terjadi berupa
penyisipan di tengah kata.Pada contoh pertama terdapat penambahan bunyi vokal /ə/
sehingga merubah kata.Di contoh kedua juga terdapat penyisipan vokal /ə/.
(3) Ekskressens
BJK BJBn arti
[də:kuŋ] [dəŋkUl] ‘lutut’
Pada perubahan ini terdapat penyisipan konsonan /ŋ/
di tengah kata, dan merubah kata menjadi [dəŋkUl].
(4) Paragoge
BJK BJBn arti
[bapa] [bapak] ‘ayah’
BJK BJBk arti
[jalu] [jalər] ‘lelaki’
Untuk kata bapa
‘ayah’, terdapat penambahan konsoan /k/ sehingga yang semula dalam BJK
[bapa] > [bapak].Kemudian pada contoh kedua terdapat penambahan bunyi /r/
pada akhir kata sehingga termasuk dalam jenis perubahan epenthesis paragoge.
c.
Metathesis
BJK BJBn arti
[hamuber] [mebur] ‘terbang’
Pada contoh diatas terdapat pemindahan bunyi /u/
yang semula di tengah kata berpindah ke silabel akhir yang bertukar dengan
bunyi /e/.
d.
Haplologi
BJK BJBn arti
[bubuhən] [abUh] ‘bengkak’
[sathithik] [sithik] ‘sedikit’
Haplologi adalah penghapusan silabel indentik ganda
sehingga silabel ganda berkurang dan menjadi satu, seperti yang dapat dilihat
di contoh diatas.
4. Perubahan
bunyi lain
a.
Palatalisasi
BJK BJBn arti
[wini] [wiji] benih
Pada perubahan ini terjadi perubahan bunyi alveolar
nasal suara /n/ menjadi palatal frikatif bersuara /j/.Sehingga perubahan ini
termasuk dalam perubahan palatalisasi.
b.
Diftongisasi
‘peras’ dalam BJK adalah [pɔh].
kata ini mengalami proses yang panjang sebelum akhirnya menjadi [pəras] dalam
BJBn. Pertama terjadi pemanjangan: [pɔh] > [pa:h], kemudian terjadi vokal
naik dan lenisi: [pa:h] > [pə:s], di mana glottal fricative bersuara /h/
> alveolar fricative tidak bersuara /s/. kemudian terjadi diftongisasi: [pə:s]
> [pəas] dan yang terakhir adalah penyisipan fonem /r/: [pəas] > [pəras].
c.
Vokal naik
BJK BJBk arti
[astu] [ɛstu] ‘baik’
[ala] [ɔlɔ] ‘buruk’
[ike] [niki] ‘ini’
Pada contoh-contoh diatas terdapat perubahan vokal
pada kata-kata di BJK menjadi lebih tinggi di BJBk. Seperti vokal rendah /a/
menjadi vokal tengah /ɛ/.
d.
Vokal turun
BJK BJBk arti
[jalu] [jalər] ‘laki-laki’
[jawɛh] [jawah] ‘hujan
Berbeda dengan perubahan yang diatas, pada perubahan
ini terdapat perubahan penurunan vokal seperti pada contoh pertama bunyi vokal
tinggi /u/ turun menjadi vokal tengan /ə/.
e.
Lenisi (pelemahan)
Proses lenisi Nampak pada proses
perubahan kata poh pada BJK ‘peras’,
terjadi saat ada perubahan vokal naik dan lenisi: [pa:h] > [pə:s], di mana
glottal fricative bersuara /h/ > alveolar fricative tidak bersuara /s/.
kemudian terjadi diftongisasi: [pə:s] > [pəas] dan yang terakhir adalah
penyisipan fonem /r/: [pəas] > [pəras] dalam BJBn saat ini.
f.
Penguatan
BJK BJBn arti
[ndi] [endhi] ‘di
mana’
BJK BJBk ‘arti’
[dawUh] [dhawah] ‘jatuh’
Pada perubahan ini terdapat perubahan penguatan
konsonan.Pada kedua contoh ini terlihat kesamaan adanya penguatan dari bunyi
/d/ tidak aspirat menjadi bunyi aspirat yaitu /dh/.
g.
Pemanjangan
Perubahan jenis ini juga terjadi
pada proses perubahan kata BJK poh [pɔh]
menjadi [pa:h] yang artinya ‘peras’.
h.
Pemendekan
BJK BJBn ‘arti’
[təlu:] [təlu] ‘tiga’
[hili:] [ili] ‘alir(me)
Pada
perubahan ini, bunyi vokal panjang menjadi lebih pendek, seperti pada [hili:]
> [ili].
E.
Kesimpulan
Perubahan bahasa merupakan hal yang
alami.Perubahan bahasa terjadi sebagai akibat dari adanya perkembangan pada
manusia dan masyarakat.Linguistik historis menelaah perubahan bahasa yang
ditilik dari waktu bahasa yang berbeda.Salah satu bahasa yang tidak luput dari
perubahan bahasa adalah bahasa Jawa.Dulu bahasa Jawa yang digunakan adalah
bahasa Jawa kawi yang kini telah berubah menjadi bahasa Jawa baru dengan ragam
yang berbeda seperti ngoko dan kromo. Jenis perubahan yang terjadi di bahasa
Jawa adalah merjer, split, assimilasi, dissimilasi, delesi: sinkop, apokop,
afaeresis; epenthesis: prosthesis, anaptiksis, ekskressens, paragoge;
metathesis, haplologi, palatalisasi, vokal naik, vokal turun, lenisi,
penguatan, pemanjangan, pemendekan.
Dalam makalah ini, analisa hanya
sebuah hipotesis kasar.Diharapkan pada penelitian yang selanjutnya dapat
diperoleh hasil yang lebih baik dengan cakupan data yang lebih luas.
BIBILOGRAFI
Campbell,
Lyle. 1998. Historical Linguistiks. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Crowley,
Terry. 1992. An Introduction to
Historical Linguistics. Oxford: Oxford University Press.
Keraf,
Gorys. 1984. Linguistik Bandingan
Historis. Jakarta: PT. Gramedia.
Prawiroadmodjo,
S. 1988. Bausastra Jawa-Indonesia.
Jakarta: Gunung Agung.
Sumukti,
Rukmantoro Hadi. 1971. Javanese
Morphology and Morphophonemics. Michigan: Xerox Company
Wojowasito,
S. 1977. Kamus Kawi (Jawa-Kuno)-Indonesia.
Malang: CV Pengarang.